Yang Maha Semau Gue

Rizal Fanany
7 min readFeb 13, 2021

--

Belum afdhol namanya jika pesta pernikahan di kampung tanpa dengdang lagu dangdut. Ketika musim kawin, alunan dangdut saling bersaut dari pojok ke pojok kampung, dari satu tenda ke tenda yang lain. Suara Bang haji selalu siap mengalun merdu, tidak pernah serak walaupun harus bernyanyi dari pagi ke pagi lagi.

Tidak seperti sebagian masyarakat kota yang membenci musik dangdut, yang katanya ‘musik kampungan’. Pito yakni aku, tidak pernah merasa terganggu dengan musik dangdut, tapi bila berhadapan dengan kasus dangdut pak Toni, ini lain ceritanya.

Jika ada hal yang sama antara aku, Bokap dan Nyokap. Kami semua sepakat bahwa bapak Toni adalah musuh kami bersama.

Setiap pagi, Pak Toni selalu siap dengan musik dangdut dengan posisi kenop volume dan bass di posisi final, posisi maksimal untuk merusak gendang telinga kami. Jedag-jedugnya terdengar keras di telinga dan debarnya terasa dijantung, bergetar kesana kemari mengikuti hentak ritme lagunya.

Penderitaan ini harus kami lalui setiap hari, dan sesi ini akan berakhir ketika pak Toni berangkat bekerja di pukul 8. Dan di akhir pekan, kami tidak bisa berharap banyak, sesi senam jantung tidak akan berakhir dengan cepat.

Bagi pak Toni, orkes dangdut paginya bukan pekerjaan biasa, baginya, ini adalah tugas mulia. Ceritanya, orkes pagi pak Toni dengan ajaib telah menyembuhkan pendengaran temannya yang bolot . Aku membayangkan mungkin gendang telinganya yang lama pecah, terus tumbuh baru kembali, atau dari tumbuh dan pecah lagi, terus tumbuh yang jauh lebih kuat lagi, evolusi gendang telinga akibat orkes pagi pak Toni.

Ada juga cerita yang menyebutkan dulu ada dua orang maling yang kabur dari kampung sebelah, saat melewati rumah pak Toni, tetiba motor mereka oleng ke kanan-kekiri sampai akhirnya nyungsruk di selokan tak jauh dari rumahnya. Belakangan kami tau, saat ditemukan, telinga mereka mengeluarkan darah, dan kami pun tau pasti, musik dangdut pak Toni adalah penyebabnya.

Sejak saat itu, pak Toni tidak pernah absen melakukannya, kami tidak pernah damai setelahnya.

Aku adalah introvert garis keras, kalau ada orang yang resah akibat pandemi dan harus dirumah, Aku bukanlah salah satunya, bagiku ini adalah surga yang datang dengan tiba-tiba. Tapi, kalau ada pilihan, Aku juga tidak akan berharap dunia berjalan seperti ini terus menerus, karena salah satu alasan utamanya, di rumah, Nyokap selalu bertanya ‘To, kapan kamu nikah?”

Di rumah, ketika Pak Toni selesai dengan orkes paginya, itu bukan berarti penderitaan berakhir. Diumurku yang menginjak 28, Nyokap selalu berharap untuk aku segera menikah. Obrolan kami pun selalu berujung, ‘Kapan, Kamu Nikah?’.

Obrolan pun semakin esktrem, dulu ketika kami datang ke pernikahan saudara, Nyokap selalu bilang ‘Tuh To, Dia aja udah nikah kok kamu belum?’, tapi lambat laun obrolan nikah menjadi sangat keluar konteks, suatu pagi Aku bertanya ke Nyokap “Hari ini hari apa ya ma?”, Nyokap menjawab “Hari ini hari sabtu, kamu nikah hari sabtu enak kali ya to?”. Ada juga cerita ketika musik pak Toni mendendangkan lagu dangdut Mansyur S yang liriknya “Kau Masih Gadis Atau Sudah Janda’, Nyokap tiba-tiba nyeletuk ‘Tuh to, kamu nikah sama gadis atau janda?’ Aku dengan kening kerut-kerut, “APAAN SI MA?”.

Nyokap semakin sensitif saja dengan segala hal tentang urusan nikah-menikah ini. Aku tidak pernah berharap tiba-tiba ada kucing kawin di depan muka Nyokap, tetiba dia nyeletuk “Tuh To, Kapan kamu kawin?”

Hari ini Aku dan Nyokap pergi untuk menghadiri pernikahan saudara. Nyokap sudah mewanti-wanti sejak seminggu yang lalu untuk mengosongkan jadwal di hari ini, ini bukan tanpa sebab, karena setiap Nyokap mengajak ke pernikahan saudara, Aku selalu punya alasan janji dengan teman. Kali ini Aku tidak bisa mengelak, Nyokap sudah mengantisipasi dengan sigap.

“Ma, nikahan kan masih nanti malam. Aku mau keluar dulu sama Gista, ngomongin kerjaan”, ucapku ke Nyokap yang masih beberes menyiapkan sarapan pagi.

“Iya, tapi baliknya jangan kesorean”, timpal Nyokap.

“Iya Ma”, jawabku singkat.

Setelah beberes diri dan sarapan, mobilku melaju dengan cepat di jalanan kota yang lenggang. Berbelok kanan di jalan Gubernur suryo, tempat pertemuanku dengan Gista. Café Nuansa.

Café menjadi pilihan paling sempurna untuk mendiskusikan pekerjaan. Aku dan Gista bekerja di dunia broadcasting di salah satu stasiun TV ternama di Indonesia. Dan kebetulan Aku dan Gista bekerja sebagai kreatif di salah satu program penyiaran berita artis. Entertainment news nama programnya.

Aku memesan secangkir kopi Americano dan Kopi Latte untuk Gista. Kemudian seperti biasanya, Aku memilih duduk di lantai 2, bangku dekat dengan jendela. Aku menunggu Gista kurang lebih 10 menit setelahnya, bekerja bareng dengan dia selama 5 tahun sudah membuat baik aku dan Gista tau kebiasaan masing-masing, dan Aku tau dia akan terlambat.

Selepasnya, Gista datang dengan terburu-buru. Rambutnya kusut, disisir sekenanya.

“Sorry my bro, Gue tadi harus nyiapin sarapan buat suami dulu”, terang Gista untuk keterlambatannya hari ini.

“Iya percaya kok, nyi-a-pin sa-ra-pan untuk su-a-mi”, balasku dengan nada mengejek. Aku tersenyum menggoda.

“Mangkannya nikah, biar ada yang nyiapin”, balasnya singkat.

UHUK UHUK, cairan kopi masuk dengan tidak sengaja di saluran pernapasanku membuatku terbatuk. Sama seperti Nyokap, kian hari aku semakin sensitif dengan apapun yang berhubungan dengan nikah dan jodoh.

“Lu, mirip emak Gue dah”, Aku menjawab dengan menyeka mata yang berair.

“Lu, gak papa?”, jawab Gista dengan tertawa.

“Enggak. Gimana untuk liputan besok? Lu ada ide?” Aku memulai diskusi pekerjaan kami.

“Eh, ada sih kepikiran. Gimana kalau kita bahas pernikahan artis, jadi kan kemarin serial My Lecture My Husband ratingnya nomor pertama nih. Gimana kalau kita angkat tentang pilihan jodoh dan rencana nikah Reza Rahardian, Apa dia gak mau nikah yah?”, jawab Gista dengan memutar mutar pulpen di atas meja.

UHUK UHUK, gue terbatuk dengan hebat, kali ini ada sedikit cairan kopi keluar dari hidungku. Gista mengulang perihal nikah dan jodoh lagi.

“Lu gak papa to”, tanya Gista.

“Enggak, gak papa”, jawabku singkat sambil membersihkan cairan kopi dihidung gue.

“Menurut gue, masuk masuk aja sih. Nanti ditambah dengan isu vaksinasi sama galang dana untuk korban bencana alam kemarin yah. Artisnya nanti Baim untuk galang dana, dan untuk vaksinasi nanti Raffi Ahmad”, balas gue menjelaskan.

“Oke gue setuju banget, berarti kurang satu sesi nih? Menurut gue kita bahas aktivitas artis di tengah pandemi. Kita cari yang sudah nikah, pasti kan beda tuh, kan intesitas ketemunya jadi lebih sering”, usul Gista.

Aku tertegun beberapa saat, menyipitkan mata ke arah Gista. Aku berpikir kalau kalau Gista kemasukan ruh Nyokap atau tiba tiba wajah Nyokap muncul, Aku membayangkan ini adalah Nyokap yang menggunakan topeng wajah Gista.

“Gue gak setuju, kurang nendang idenya”, balasku.

“Terus, apa dong?”, jawab Gista.

“Iya udah, dipikir”, jawabku singkat.

Setelahnya Gista memberikan saran tentang berita artis yang suka bunga hias, bisnis artis di tengah pandemi, artis dan syutting di tengah pandemi. Semuanya ku tolak, belum ada yang terlalu menarik pikirku.

“Gimana kalau bahas tentang ramalan ramalan, kan lagi hits tuh, kita nanti cari artis terus ditanya tentang pendapatnya tentang ramalan, gampang kita bisa pinjam artis di program sebelah, tinggal konfirmasi aja ke bagian talent”, Gista menjelaskan dengan yakin.

“Oke juga, kalau itu Gue setuju”, Aku mengangguk tanda setuju.

“Oke, habis ini Gue tinggal bilang ke bagian Produksi dan konfirmasi bagian talent”, ucap Gista.

“Habis ini? yah, sekarang dong!”, balasku dengan nada memerintah.

“Iya iya, sekarang. Jangan ketus ketus bro, nanti susah dapat jodoh”, balasnya dengan nada kesal.

Kalau bukan karena kata kata itu sering diucapkan Gista, Aku pasti sudah tersedak untuk ketiga kalinya.

“Gis, nanti jangan lupa ya ingetin Ica buat Rafkat materinya, ingetin juga buat script untuk VOnya, take vokal besok pagi. Besok setelah liputan suruh langsung ingest di bagian library, bisa gak bisa gue mau preview di sore hari, jadi editing harus cepet. Oh iya nanti malam gue ada acara keluarga, tapi untuk tayangan hari ini udah oke”, Aku menjelaskan ke Gista.

“Oke siap bos”, Gista menjawab tanpa melihatku, dia masih fokus pada catatannya.

Dosis musik jazz yang lembut dan suasana jalan kota yang lenggang disamping jendela membuat kami terhanyut dalam suasana yang syahdu. Tiba Tiba,

UHUK UHUK

Kali ini bukan Aku, Gista yang terbatuk

“Lu gak papa gis?” tanyaku perhatian

“Ini kayaknya ada asap rokok”, balasnya sambil menutup hidung, membuat suaranya sedikit berdengung.

Benar saja, tepat dua bangku disamping kita duduk. Ada dua orang pengunjung yang menghisap rokok seenak jidat mereka.

“Bentar gis, gue mau ngomong sama mereka, ini kan ruangan berAC”, Aku berdiri, namun Gista mencegahnya.

“Udah gak papa bro, gue bawa masker”, Gista segera memakai maskernya.

“Gue suka heran, kenapa makhluk sejenis ini banyak banget sih di dunia gue. Dirumah, gue ketemu pak Toni, tetangga sebelah yang speakernya segeda gaban yang tiap hari maksimal mengganggu ketenangan gue, belum lagi Nyokap yang nanyain ‘kapan nikah’ hampir setiap ada kesempatan, ini lagi, orang jelas jelas di ruangan berAC masih aja ngudut. Ayo dong gue mau hidup tenang sekali aja”, jelasku dengan kesal.

“To, my bro, gini. Orang yang kayak gitu tuh”, Gista sambil menggoyangkan kepalanya ke arah pengunjung perokok tadi.

“Orang yang kalau DNAnya di ekstraksi, munculnya kode “Yang Maha Semau Gue”, harus dihadapin juga dengan sikap “Yang Maha Semau Gue” juga, udah loh nyantai aja, ambil sikap seperti mereka gak ada, jangan ngabisin energi buat hal-hal yang gak penting. Kalau bisa ditegur, kalau enggak yah buat diri loh nyaman dengan situasinya, lu gak akan untung kalau lu kebawa emosi”, balas Gista dengan bijak.

“Protego Maximum”, Gista mengucapkan mantra perlindungan dalam seri harry potter, tanggannya melambai, pulpen sebagai tongkat sihirnya.

“Buat perisai tak kasat mata, buat tameng di hati elu. itu bakalan membuat nyaman disegala kondisi dan situasi, no bocor-bocor”, Gista menjawab dengan nada canda.

“Bisa aja lu !! tapi Gis … Nyokap ada benernya sih, kan gue harusnya udah nikah nih!”, balasku

“Lu nikah karena Nyokap lu yah berarti? lu nikah gak nikah tuh udah tanggung jawab elu. Lu nikah karena lu udah siap nikah, lu nikah karena lu mau nikah. Kita harus menghargai orangtua, bener to, menghargai loh yah, tetep semua ditangan elu”, balas Gista.

“Anjay, sobi gua, bijak banget lu”, balasku dengan canda.

“Sorry, mungkin karena gue udah nikah kali yah, mangkannya buru nikah. Canda nikah. haha”, balas Gista dengan tawa kemenangan.

Kini café berganti ke musik indie, alunannya semakin syahdu. Kebal kebul americano yang menangkan. Membuatku melayang layang. Mungkin benar, semakin dewasa Aku hanya ingin hidup dengan fikiran yang tenang, sesimpel itu saja. Berharap kian hari kian ahli mengatur emosi, memikirkan memikirkan apa yang memang penting untuk dipikirkan, dan mengontrol apa yang memang dapat dikontrol. Urusan selebihnya itu diluar tameng, dan aku harus siap menghalaunya untuk tidak masuk ke zona tenang milikku ini.

Aku pun dibawa melayang, membayangkan, nanti di pernikahan saudara saat Nyokap bilang ke aku “To, tu dia udah nikah, kamu kapan?, Aku akan berucap dengan jelas “Nanti ma, pas waktunya”, setelahnya ku yakin Nyokap pasti nyerocos seharian, dan yah, Aku sudah lebih siap sepertinya.

--

--