Seblak Level “Ghibah Tetangga”

Rizal Fanany
6 min readFeb 13, 2021

--

Sumber. Google Image

Untuk kesekian kalinya aku membeli seblak level “ghibah tetangga” di kios pertigaan Jalan Yos Sudarso. Level tertinggi yang ditawarkan diatas “omelan emak”, bedanya level ini tanpa tambahan kecap sebagai tambahan bumbu pemanis.

Untuk kesekian kalinya pula Mang Udin, pemilik kios itu. Menyerahkan surat keterangan yang harus ditanda tangani, menyatakan bahwa aku tidak akan menuntut apapun jika terjadi sesuatu setelah memakan seblak gila itu.

Seperti layaknya ritual, setelah ketok-palu ketidaklolosan untuk lamaran pekerjaanku. Aku merelakan perutku melilit akibat overdosis kapsaisin dalam jumlah tak wajar, orang akan bilang itu racun namun bagiku sebaliknya, dia penawar paling ampuh agar fikiranku hanya fokus untuk memikirkan masalah perut. Aku rela bolak-balik kamar mandi daripada harus melamun sepanjang hari.

“Mang, makin sepi ya mang?” Aku berbicara ke mang udin yang sedang asik memasak seblak.

“iya bang Andi, mahasiswa pada pulang kerumah, kan serba online sekarang”, timpal mang Udin.

“Emang mamang gak coba bisnis lewat online aja?” tanyaku balik

“Sebenernya kepikiran, cuma hpnya dibuat anak, belajar online, anaknya saya empat bang, masih sekolah semua” Jawab mang Udin sambil menyerahkan seblak pesananku, tak lupa dia membagikan senyum kecilnya, pesugihan paling ampuh untuk pelanggan setianya.

“Makasih mang”, balasku.

Jika ada orang yang masih tidak percaya segala tentang virus covid ini, bawa dan seret orangnya kedepanku. Karena aku tau, dan mang Udin pun begitu. Kami sudah babak belur, digebuk pandemi covad-covid ini.

Dulu, kawasan Yos Sudarso adalah kawasan paling ramai, kami menamainya “YODO” biar gampang. Hiruk pikuknya makin ramai lagi ketika hari sabtu malam, dari mulai mahasiswa yang memenuhi hajat perutnya, sampai mahasiswa yang berurusan dengan hatinya, sepanjang jalan penuh dengan orang pacaran.

Sejak pandemi, format belajar online diberlakukan dan kita bisa menebak apa yang terjadi, mahasiswa memilih untuk pulang. Masakan gratis ibu di rumah jelas lebih menggiurkan, berat sebelah jika dibandingkan dengan ibu kos yang galak yang selalu disiplin menagih tunggakan kos diakhir bulan. Akibatnya banyak warung yang gulung tikar, ditinggal pelangganya lari-pulang ke kampung halaman.

Aku bergegas balik ke kos. Kios mang Udin tak jauh dari kosku, seratus meter kurang lebih.

Desember yang berair memaksAku bergerak lebih cepat, hujan turun lumayan deras. Aku tidak mau basah kuyup, cukup perasaanku saja yang sudah terlalu kuyup.

Tanganku meraih gerbang indekos tepat saat petir menyambar di kejauhan.

Aku mendorongnya terbuka dengan satu tangan, masih menenteng seblak yang kupesan tadi. Aku tidak terlalu memperhatikan gerbangnya, buru-buru pikirku. tapi Aku sangat yakin, warnanya pink dengan banyak bercat karat disana-sini, warna pink pudar yang kuingat belum pernah dilapisi kembali sejak Aku masuk kesini, empat setengah tahun yang lalu.

Aku menyeberang melewati taman kos.

Kamarku berada diujung dekat kamar mandi. Lembab, bau dan agak temaram, paket lengkap yang disukai tante kunti. Kata ibu kos, tante kunti kos kami hanya menampakkan diri pada mereka yang berwajah ganteng. Dari sepuluh penghuni kos, semuanya berbondong-bondong mengaku telah melihatnya, seperti itu bisa mengangkat harga martabat di depan penghuni lainnya.

Aku pun begitu, kuyakini bahwa pada malam kamis ditengah malam, Aku melihat dengan jelas seperti ada bentukan wanita dengan rambut panjang di kursi depan taman kos. Aku pun buru-buru menceritakan ke seluruh penghuni kos lewat whatsApp grup, dengan bangga kuumumkan bahwa aku telah dinilai tampan oleh tante kunti kesayangan kami. Walaupun pada keesokan harinya ku tau bahwa bentukan wanita itu adalah alat pel yang dililit dengan kain putih. Aku menyingkirkan barang bukti, Aku tidak mau turun tahta kembali.

Kutarik gagang pintu kamar kos yang diatasnya bertuliskan “Doa Ibu Selamanya”, menyeretnya terbuka. Aku pun masuk dan dengan reflek menekan tombol lampu kamar, lampu menyala memperlihatkan seisi kamar, termasuk didalamnya seonggok daging dengan mulut terbuka, tanpa baju dengan celana pendek lusuh dipakainya.

“Meng, Lu mati bro?” Aku membangunkan Rino alias Cimeng, sahabat sepernasiban yang wajahnya selalu kusut seperti orang kebanyakan ganja (Cimeng), aura mudanya luntur akibat rutinitas begadangnya. “barangsiapa yang begadang, dia akan meneguk manisnya kerja keras di esok hari” motto hidup yang selalu diumbarnya.

“Jam berapa sekarang?”, Cimeng mulai bangun, matanya masih mengerjap-ngerjap, tangan kirinya mengusap mukanya, tangan kanannya menggaruk selangkangannya.

“Jam 4 bos, lu nggak sholat?” jawabku singkat.

“Udah tadi, dari mana lu?” timpal Cimeng.

“Biasa”, balasku.

Aku pun berganti baju, melemparkan ke ujung kamar, bergabung dengan baju kotor lainnya. Duduk bersila di depan laptop yang masih menampilkan surat balasan lamaran pekerjaanku. Aku pun membuka seblak pesananku tadi.

“UHUK, UHUK”, Cimeng bangun dengan menutup hidungnya.

Jumlah biji cabai yang tidak terhitung banyaknya menimbulkan bau khas yang menyengat, masuk menerobos hidung, menyengat, menimbulkan batuk setelahnya.

“Lu ditolak kerja lagi bos? Bos bos gua gak mau repot lagi, Lagian penjual obat di apotek ujung judes judes”, Cimeng menambahkan dengan kesal.

Cimeng adalah makhluk yang paling kurepotkan setelah Aku menelan habis seblak ini, Cimeng akan berangkat ke apotek tanpa paksaan setelah melihatku meringkuk di ujung kasur. ibarat ‘jangan melupakan teman yang menemani di kala badai’, Aku tidak akan melupakan kebaikan Cimeng, Aku pun juga tidak akan lupa jumlah uang yang dipinjamnya selama ini.

Cimeng selalu ada dalam cerita kegagalanku, Cimeng pula yang menemani naik turun rasa optimisku dari ‘meng, ini pasti bosnya nyesel gak nerima gue’, ‘Alhamudlillah ya meng gue gak ketrima, tempat lain lebih bagus’ sampai kata yang paling sering kukatakan padanya akhir-akhir ini,

“Belum rejeki kali ya meng”, balasku untuk menjawab pertanyaan Cimeng sebelumnya.

Aku menutup tab laman email yang masih terbuka di laptop, memainkan musik lewat Spotify. Alunan musik indie mengalun pelan, lagu hits kekinian keluaran 2019, ‘kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang? Renggang. ‘tak perlu memikirkan apa yang akan datang, di esok hari ….’

“Meng, kenapa gua gini gini aja yah?” Aku merebahkan tubuhku di samping laptop, seblak ghibah tetanggAku masih panas, uapnya menyeruak, baunya memenuhi kamar.

“Maksud lu gimana?” balas Cimeng singkat, kini dia memiringkan tubuhnya ke arahku.

“Iya, gini gini aja. Maksudnya, gua udah puluhan kali ngelamar pekerjaan dan nggak ada satupun yang tembus, gua udah ngelamar dari perusahaan besar sampai yang kecil, dari gaji selangit sampai gaji yang cukup buat agar perut gua nggak melilit” jelasku ke Cimeng.

“Bos, loh tu udah keren kali. Lu wisuda di tengah pandemi yah walaupun lulus dengan IPK pas pasan” balasnya.

“Tai lu”, Aku menyambut candaannya.

“Udah lah bos, kita sama-sama tau keadaan. lu gak gini-gini aja. Lu udah lulus dengan sangat baik, masalah lu belum dapat pekerjaan atau gua yang belum dapat beasiswa master, iya itu urusan lain. Urusan yang emang gak bisa kita kontrol. Boro-boro buka lawangan pekerjaan, banyak perusahaan lagi berjuang, cuma agar bisnisnya dapat jalan“, jelas Cimeng dengan nada menjelaskan.

“Tapi meng, gua kan malu meng! gua memutuskan untuk ngggak balik ke rumah di kalimantan ya gara-gara ini. Gua malu kalau semisal harus pulang, gua malu kalau harus dirumah, gua malu terus-terusan makan tidur ngabisin duit, emang lu gak malu meng?!”, curhatku ke Cimeng.

“Bro, kalau lu hidup untuk mendengarkan orang , lu gak akan pernah merdeka”, Cimeng sekarang bangun.

“Ibarat lu beli kaos branded dan kaos paling murah sekalipun, yah itu karena lu tertarik dan nyaman makainya. Gak perlu tu mikir, orang lain bakalan nanggepin gimana. Selagi itu masih bagus dan nggak merugikan siapapun, ya bagus-bagus aja. Kalau kata motivator ‘jangan biarkan orang lain mendefinisikan lu”, lu tau lu mau apa, lu tau keadaan loh gimana’, nada Cimeng kini mulai serius.

“Intinya jangan mendefinisikan diri lu dari pencapaian orang lain, lu tau proses lu, lu tau gak gampang sampai tahap ini”, imbuh Cimeng.

“Ah lu meng, lu mau ngomong juga kalau orang lain masih banyak yang lebih parah dari gua”, tanyAku singkat.

“Nah itu juga termasuk mendefinisikan diri lu dengan orang lain bos”, timpal Cimeng dengan keras. Kini dia rebahan lagi, kedua tangannya melipat sebagai bantalan kepala. Kepalanya lurus memandang keatas.

Aku berusaha menyerap maksud Cimeng, walaupun wajahnya berantakan, otaknya tidak pernah sekalipun berantakan, tertata rapi terlihat dari apa yang dikatakannya. Aku memandang jauh, Aku mendengar lagu indie yang masih mengalun, dekat di telinga … ‘Bersedihlah secukupnya (Aa-aa-aa-a) secukupnya (kan masih ada) penggantinya’.

“Bos lu jangan berisik yah, gua mau telfon Dina”, kata Cimeng memperingatkan.

Setelahnya, seperti yang seharusnya terjadi. Cimeng dengan seksama mendengarkan kata demi kata Dina yang khawatir karena tidak bisa menghubunginya sehari ini. Aku pun diam mendengarkan, sambil memakan seblak yang mulai menghangat, rasanya bukan pedas lagi, terkesan pahit, jauh jika dibandingkan dengan kata manis Dina pacar Cimeng.

--

--