Relasi

Rizal Fanany
3 min readAug 25, 2023

--

Dalam suatu sesi wawancara, Yuval Noah Harari, penulis buku laris “Sapiens: A Brief History of Humankind (2014)” menyebutkan bahwa agama dibangun atas mitos, Yuval menjelaskan dalam periode sejarah dikenal periode revolusi kognitif, saat dimana kemampuan berbahasa Sapiens meningkat, saat itupula embrio agama muncul, dimana kebutuhan akan Tuhan bersandar pada kelemahan manusia untuk menjelaskan maupun mengatur hal-hal luar biasa diluar kendali mereka, ilustrasinya mungkin begini: Petani di zaman neolitikum akan berdoa kepada Tuhan atau obyek yang dianggapnya representasi Tuhan untuk dapat memberikan panen terbaik tahun ini karena ketidakberdayaan petani tersebut dalam mengatur cuaca atau curah hujan yang datang saat itu, Tuhan hadir sebagai sandaran harapan atas kelemahan mereka. Singkat kata, Yuval menyebutkan bahwa agama dan Tuhan lahir sebagai bentuk kreasi manusia, imajinasi manusia sebagai jawaban untuk hal-hal diluar kemampuan pikir dan sebagai media dan sandaran untuk kelemahan dalam mengatur hal diluar kendali kita.

Titik berat yang aku ingin refleksikan adalah bukan “apakah Tuhan memang ada” atau “apakah Tuhan memang sebuah mitos”, tentu jawabannya Tuhan ada dan Tuhan bukan mitos dan bukan hasil imajinasi, dimana alasannya mungkin sudah banyak dibahas dalam banyak literatur, atau aku turut menyumbang dengan pernyataan: “bagaimana dapat sistem biologi dalam sel yang kecil begitu sangat kompleks, rumit, dan sempurna ketepatannya tanpa adanya pengatur (?) pasti Allah lah yang mengaturnya”. Senapas dengan apa yang Allah tuliskan “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti” (Q.S Al Baqarah (2) : 164).

Hal yang lebih menarik untuk direfleksikan dari pernyataan Yuval adalah bagaimana bentuk relasi dengan Tuhan, Yuval mengatakan bahwa Tuhan lahir dari ketidakberdayaan kita sebagai manusia, apakah Tuhan ada sebagai bentuk sandaran ketika aku sudah tidak berdaya, apakah aku masih sebatas berbisnis dengan Tuhan? Dimana aku mendekat pada Tuhan untuk duniaku, memujinya dengan tujuan merayu untuk memudahkan duniaku yang sedang tidak baik baik saja? Aku berbisnis dengan Tuhan, dimana Tuhan tidak pernah diuntungkan.

Mungkin pertanyaan dasar yang perlu dijawab terlebih dahulu adalah: salahkah jika berharap pada Tuhan? Allah menjawab dengan penuh kasih sayang “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan)” (Q.S Al Ghafir (40): 60), tentu berdoa dan berharap kepada Tuhan bukan lah sebuah kesalahan, alih alih sebaliknya, merupakan sebuah ibadah, dimana menunjukkan ketidakberdayaan dan Allahlah penolongnya. Allah sebagai Rabbul ‘Alamin (Rabb seluruh alam) tentu teramat mudah bagiNya untuk mengatur kebutuhan makhluk Nya, tapi bagaimana jika makhlukNya datang ketika butuh saja?

Dalam Mukhtashar Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, menyebutkan bagaimana kecenderungan manusia yang beriman ingin menjadi orang yang tidak masyur dan terjaga dari keterikatan dengan keinginan duniawi, Abu Bakar ra berkata: “Aduhai burung, andai saja diriku sepertimu dan tidak diciptakan sebagai manusia”, Abu Dzar berkata “Aku sangat ingin seandainya diriku seperti pohon yang ditebang”. Lantas aku berfikir tentu bagi keduanya, berdoa bukan lagi untuk keinginan dunia, pujian kepada Allah bukan lagi untuk merayuNya dan mendapatkan keuntungan untuk tujuan duniawiNya. Bagi mereka dzikirnya bukan lagi merayu dan menjilat Tuhan, tapi murni memujiNya sebagai bentuk penghambaan sebagai hamba, memujiNya karena sewajarnya dilakukan, karena Tuhan sudah sangat baik menciptakan, mengatur, dan mencukupkan urusannya.

Semoga menjadi pengingat bagiku, untuk terus mengupayakan memuji dan bertasbih pada Tuhan, bukan hanya saat sempit tapi juga lapang, bukan melulu memujinya saat ingin merayuNya untuk mengabulkan harapan saja, tapi juga memujiNya sebagai bentuk penghambaan yang murni. Wallahu a’lam bish-shawab

--

--