Peri ke-insecure-an

Rizal Fanany
2 min readFeb 13, 2021

--

Sumber. Google Image

Pernah nggak kepikir, kalau ada orang hasil kombinasi dari pintarnya Einstein, gantengnya Brad Pitt, dan kayanya Mark Zuckenberg, cowok ganteng ini mungkin bakal dipuja sejagat raya, tapi pertanyaannya dia bakal tetep insecure nggak yah?

Kian hari kian bertambah umur, aku semakin menyadari, hidup kian tidak menyenangkan lagi. Hidup dibumi dengan segala standarnya, menjadikan tinggal dibumi tidak asyik lagi. Hidup seperti selalu ada tuntutan, sebuah keharusan untuk tampil paling sempurna, atau tampil lebih baik dari lainnya, dalam aspek apapun, mulai dari tampilan atau benda kepunyaan, belum lagi kalau ngomongin pacar kesayangan (Aah … aku siap gantung diri sekarang!)

Di zaman yang apa-apa harus dibagikan, dimana Instagram sudah jadi dewanya kehidupan, dimana cecan dan cogan (baca: cewek cantik dan cowok ganteng) dengan tidak berperi keinsyekyuran, berseliweran dijagat instagram. Sering membuat orang bertanya-tanya, “sembunyi dimana sih kalian saat pembagian keburikan?”. Menjadikan masalah insecure ini kian hari kian panas sebagai bahan diskusi.

Perkara insecure sepertinya sudah kebal kebul sejak manusia muncul. Adler salah satu psikolog kenamaan pernah berkata, kalau hidup manusia memang dimotivasi untuk selalu menjadikan dirinya superior dan sempurna, yang mana bersumber dari perasaan inferior dalam diri kita.

Dalam kata lain, memang, sesempurna diri kita, pasti kita punya rasa insecure ‘peri keinsecurean’, rasa inferior yang terus memotivasi kita untuk tumbuh dan menjadi sempurna, rasa ini pula yang menggerakkan kita untuk belajar, bekerja, sampai perkara mau potong rambut model apa.

Kalau begitu bagus dong … berarti kita terus menerus didorong untuk bertumbuh menjadi lebih baik. Tapi ini menjadi masalah lain, saat rasa inferior ini harus dibanding-bandingkan, apalagi dengan kelebihan milik orang lain.

Banjir bandang keistimewaan yang semakin mudah dilihat di Instagram dan platform medsos lainnya melarutkan rasa inferior yang memang ada dalam diri kita, menjadi sebuah sirup mematikan bernama overthinking.

Berpikir berlebih ini kadang menjadikan diri kita merasa payah berlebih, merasa bahwa apa yang kita upayakan tetap masih kalah jauh daripada lainnya. Sampai akhirnya yang terjadi malah kita tidak pernah berbuat apa-apa, kita tidak pernah tumbuh setelahnya.

Adler kemudian memandang kembali bahwa rasa inferior ini harus dipandang bijak, dimana dorongan untuk menjadi superior tidak perlu melulu-lulu dihubungkan pada berkompetisi dengan orang lain, menjadi superior berarti menjadi versi terbaik dari kita. cukup sampai situ saja.

Sehingga ketika rasa inferior muncul yang ada adalah fokus untuk memperbaiki diri semaksimalnya, dan bukan “kok gue masih disini aja yah, mereka kok sudah sampai sana”.

Manusia hanya dituntut bekerja semaksimalnya, bukan iri dengan hebatnya.

--

--