Obrolan Cinta

Rizal Fanany
5 min readFeb 13, 2021

--

Kalau aku ditanya hal apa yang paling sulit ketika pacaran, mungkin aku akan jawab ‘kehabisan obrolan’. Dalam hubungan pacaran, cowok ibarat jurnalis, mencari topik obrolan adalah jobdesc berat yang harus dipikunya, dan cewek sebagai ketua direksinya berhak memutuskan obrolan ini layak atau perlu direvisi kembali ‘Ah … kita ganti ngobrolin yang lain yu!’. Setelahnya, kita tau apa yang akan terjadi. Aku selalu kalang kabut, kami para cowok selalu kalang kabut, deadline terlalu singkat.

Kalau aku ditanya hal apa yang paling sulit ketika pacaran, mungkin aku akan jawab ‘kehabisan obrolan’. Dan Gito pasti setuju denganku.

Hujan desember telah memaksa Gito dan Kirana mengurungkan niatnya untuk ngedate di salah satu café paling cantik di kota itu, Sejoli Café namanya.

Walaupun digadang-gadang sebagai café paling romantis seantero Bandung, bukan otomatis mereka bisa membayarnya dengan cinta, karena hanya orang yang tajir-melintir lah yang dapat memesan salah satu mejanya untuk semalam. Gito adalah salah satunya.

Gito dengan sangat beruntung terlahir dari orangtua yang kaya, beruntung pula dianugerahi wajah tipe menengah ke atas, badannya tidak atletis tapi tidak juga cungkring. Dan dari semuanya, bukan berarti ia tanpa cacat. Gito selalu garing dalam obrolan.

Tapi Tuhan dengan sangat baik telah berjanji mempertemukan dua pasang jiwa yang saling melengkapi. Dan seperti cerita drama korea, Gito bertemu Kirana, gadis periang dengan kacamata bundar dengan frame tipis yang selalu dipakainya, dan dari wajahnya, senyumnya tidak pernah pudar.

Kirana adalah penulis utama di sebuah majalah anak terkenal di Kota Bandung, semasa kuliah sudah tak terhitung banyaknya cerpen tulisannya masuk di beberapa koran ternama di Indonesia. Soal bakat mengarangnya, tidak perlu ditanyakan kembali, ibarat peringkat, dia sudah menduduki kelas profesional.

Bakat mengarangnya pun berpengaruh pada Gito, tepat lima tahun lalu setelah mereka jadian di kantin kampus, Kirana mengubah dan mendeklarasikan nama Gito menjadi ‘kugi’, dan mengharuskan Gito memanggilnya dengan nama ‘kuki’.

Dan beruntungnya Gito, Kirana tidak pernah kehabisan obrolan. Mengobrol dengan Gito adalah urusan mudah. Kirana adalah sumber yang tidak pernah kering, idenya terus saja mengalir.

Sudah sekitar 30 menit lalu sejak Kirana menolak untuk diajak Gito di sejoli café.

‘maaf ya, malam ini Aku gak bisa, Aku mau nulis dongeng. Lagian hujan deras, neptunus lagi bersedih hari ini’, pesan singkat yang dikirimkan Kirana ke Gito sebagai surat izinnya malam ini.

Gito sudah terlanjur berangkat dari kontrakannya, ia memutuskan untuk meneruskan perjalanannya ke indekos Kirana. Gito ternyata salah memprediksi, Bandung ketika pandemi ternyata juga sepi, ia tak perlu payah menerobos jalanan sabtu malam minggu yang biasanya ramai dipenuhi muda mudi.

“Aku di depan, kamu keluar ya”, Gito membalas pesan singkat Kirana yang belum dijawabnya tadi.

Kirana keluar setelahnya, setelan bajunya memang menyiratkan bahwa dia tidak siap untuk pergi, piyama pink dengan kerudung senada tak lupa dengan kacamata bundar. Tapi ada yang lebih penting, lewat kacamatanya Gito tau matanya lebam, Kirana menangis sebelum ini.

“Kamu gak papa ki? Kamu kayak habis nangis, kenapa? Ide kamu ditolak direksi? Ini ada beng-beng kesukaan kamu”, Gito memberikan beng-beng dengan menatap Kirana dalam.

“Gak papa gi, tadi Aku lihat drama Thailand judulnya a little thing called love, sedih ceritanya”, balasnya singkat.

“Jadi nulis dongengnya? katanya mau nulis dongeng, Kamu mau nulis apa?” Gito memulai obrolan.

“Eh. Aku bilang gitu ya? Eh, biasa, romansa-romansa. Eheh.” Jawab Kirana tidak yakin.

“Ki, kamu bener gak papa?” tanya Gito penasaran.

“Iya” jawabnya singkat.

“Jadi kita gak jadi nih ke sejoli café? Aku udah pesan seminggu yang lalu padahal”, Ada senyum tipis dan mata menggoda diujung pertanyaannya.

“Iya, maaf yah” jawabnya Kirana dengan nada agak memelas.

“Iya gak papa”, balas Gito, nadanya sabar.

Setelahnya bisa ditebak, Gito mulai kehabisan bahan obrolan.

Dia sudah empat kali merutuki cuaca malam ini, lima kali menanyakan apakah Kirana sudah makan, dan enam kali bolak-balik keluar masuk kamar mandi tamu.

Jurus terakhir yang Gito punyai adalah memutar video Youtube Raditya Dika. Gito meletakan ponselnya di meja, disandarkan pada vas bunga mawar yang sedari tadi duduk manis diatas meja ruang tunggu indekos Kirana. Biasanya Kirana akan tertawa lepas saat Raditya Dika mengeluarkan joke-joke recehnya, anehnya malam ini hanya senyum tipis yang dipaksakan muncul dari kedua bibirnya. Gito tau ada yang salah, dan Gito tau ini sudah terlalu lama didiamkan.

“Ki, udah cerita aja! Aku siap mendengarkan apapun”, Gito memandang Kirana dengan arti.

“Apapun?”, balas Kirana.

“Iyah, apapun?” jawab Gito.

Ada jeda yang canggung setelahnya, kirana menatap gito dengan dalam, dan sebaliknya gito balas memandangnya.

“Oke baik … kita udah jalan lima tahun, Aku udah kenal orangtua kamu, kamupun udah kenal orangtua Aku. Kamu selalu ada dimomen terbaik Aku, kamu selalu datang ketika Aku ulangtahun, kamu ada diwisuda Aku, kamu ada dihari dimana Aku diterima kerja, intinya kamu selalu ada. Tapi ….” Ada jeda yang dibuat Kirana.

“Tapi apa?” balas Gito tidak sabar, Gito selalu tau bahwa kata sebelum tapi adalah kata tambahan yang tidak bermakna.

“Aku udah gak cinta sama kamu, cintanya udah hilang”, Ujung nada Kirana bergetar.

“Hilang? Hilang gimana? Maksudnya gimana?”, Gito bertanya, nadanya naik, dia benar-benar tidak sabar.

“Iya hilang, seminggu lalu saat kamu menutup telfon. Aku merasa cintanya udah hilang, Aku nggak merasa butuh kamu, Aku … udah … biasa aja”, jelas Kirana, kini kacamatanya berembun. Kirana menangis.

“Hilang gimana si? kita udah jalan lima tahun ki, maaf kalau Aku ngebosenin, maaf juga kalau Aku gak romantis, maaf juga kalau setiap obrolan kamu yang selalu susah payah nyari bahasan, tapi gak gini dong, ayolah!” balas Gito dengan nada diujung memohon dan memelas.

“Ki, Aku udah relah loh tiap minggu ngajak kamu keluar, Aku juga relah selalu ada tiap kamu butuh temen cerita tentang dongeng kamu walaupun Aku udah capek seharian kerja, Aku relah pindah ngontrak daripada harus balik tinggal dirumah Jakarta. Aku relah loh ki .. Aku relah”, kini Gito memandangnya kirana tajam.

“To, tapi cinta itu bukan berhitung. Aku udah gak cinta sama kamu, udah hilang, gimana dong?” ada tanya diujung pernyataannya.

“Gimana dong?” tanya Gito.

“Iya, gimana dong?” tanya Kirana balik.

“Gimana dong? Kamu jangan kayak psikopat yang bawa pisau, terus nusuk nusuk Aku, terus bilang gimana dong?” jawab Gito dengan marah.

“Kamu yang bilang cinta itu tentang komitmen, kamu yang bilang cinta itu bukan hanya perasaan, kamu yang bilang bahwa gimanapun bentuknya nanti kamu tetep akan bertahan di hubungan ini” , mata Gito berair, hatinya luruh.

“To, Aku tau bakalan sakit, lima tahun emang bukan waktu yang sebentar …” ucap Kirana

“Emang gak sebentar … “ Gito memotong Kirana.

“To, cinta itu emang komitmen, tapi cinta juga bukan paksaan. RasAku udah hilang, ibarat rumah, pondasiku udah hilang, Aku nggak bisa kompromi lagi bahwa cendelAku bagus-bagus aja, bahwa pintu rumahku pas pas aja. Rumahku udah hancur to, rumah kita udah hilang. Hubungan ini udah berat sebelah, ini gak baik buat kamu, ini pun gak baik buat Aku”, Dia menjelaskan.

TEEET TEEET TEEEET

Bunyi bel indekos kirana yang berbunyi panjang menandakan bahwa waktu kunjung sudah habis. Gito sudah harus pergi.

“Jadi kita udahan?” Gito memastikan sekali lagi.

“Maaf to” Kirana membalasnya singkat.

“Iya, gak papa”, balas Gito, dia menarik langkah dengan berat, ada sakit yang benar-benar menusuk hatinya.

Gito bergegas pulang, di mobil dia bisa merasakan, hujan turun dengan sangat deras diluar, dia pun juga bisa merasakan hatinya hancur, di tabrak memori-memori lima tahun bersama kirana, dia menangis sejadi-jadinya.

Kini … Kalau Aku ditanya kembali hal apa yang paling sulit ketika pacaran, Aku tidak akan lagi menjawab ‘kehabisan obrolan’, Aku pasti akan menjawab ‘kehabisan cinta’. Dan kurasa, Gito pasti setuju denganku.

--

--